Rabu, 25 Agustus 2010

BURUNG TAUN DAN BURUNG NGULNGUL

Berabad – abad yang lalu kehidupan binatang sangat bebas. Mereka berada di alam semesta dengan riang gembira. Tidak ada rasa takut. Mereka dapat berkeliaran ke mana saja dan di mana saja. Di darat, di laut, dan di udara mereka hidup aman. Hal ini dapat dipahami karena daging, cula, kulit, bahkan seluruh bagian tubuh mereka belum diambil untuk bahan makanan, bahan pakaian, dan aneka hiasan. Mereka masih merupakan dambaan keindahan dan keseimbangan alam untuk manusia. Mereka merasa dilindungi manusia dan tidak merasa akan punah.
Dari sekian banyak binatang yang beterbangan di alam luas dan langit biru, terdapatlah burung taun dan burung bayan. Burung taun berbadan besar dan berbulu hitam. Sayapnya hitam bercampur putih. Ekornya berbulu panjang. Pada paruhnya terlihat garis sesuai dengan umurnya. Suaranya nyaring serak – serak basah. Sebaliknya, burung bayan bertubuh kecil. Bulunya sangat menarik karena berbulu kelabu. Pada paruh atas yang berbentuk topi terdapat mahkotanya (jambul). Suaranya merdu meskipun tidak nyaring.
Kedua burung ini bersahabat. Mereka hidup di hutan, di tanah tinggi, maupun di paya – paya. Mereka hinggap berdekatan, terbang bersama, dan mencari makan bersama pula. Itulah yang sangat menarik hati melihat kahidupan kedua burung itu.
Pada suatu hari mereka melanglang buana menghirup udara segar melewati pepohonan besar dan kecil. Mereka ingin menyaksikan tumbuhan yang menghijau, memerah, menguning, bahkan yang berbunga beraneka warna. Sepanjang perjalanan, sesekali mereka bernyanyi dengan irama dan nada yang berbeda. Sungguh indah ciptaan alam ini.
Setelah jauh berjalan, mereka pun hinggap di sebuah pohon. Pohon itu tumbuh subur, lebat daunnya, dan rindang. Nama pohon itu pohon beringin. Burung taun pun memulai percakapan dan bertanya kepada burung bayan, “Bolehkah aku meminjam topimu? Sebenarnya, sudah lama aku menginginkan topi mahkotamu. Setiap kali bila aku mau mengatakannya selalu saja rasa maluku timbul. Topimu akan kupinjam sehari, jadi besok akan kukembalikan.”
“Akan ke manakah engkau?” tanya burung bayan.
“Oh, aku hanya ingin pesiar,” jawab burung taun.
“Kalau demikian, boleh saja. Dekatkanlah kepalamu,” kata burung bayan. Burung bayan langsung mencabut mahkotanya dan melekatkan serta memasangkan mahkotanya secara rapi di atas kepala burung taun.
“Ya, sudah bagus,” kata burung bayan, “engkau kelihatan lebih perkasa.”
Tiba – tiba burung taun mengepak – ngepakkan sayapnya dan terbang. Tinggallah burung bayan di dahan pohon beringin itu. Timbul rasa curiga dalam hatinya, “Mungkinkah aku ditipu burung taun? Ah, tentu tidak! Bukankah kita sudah lama bersahabat.” Akan tetapi, rasa waswas selalu mengusik hatinya.
Dua hari sudah berlalu, tetapi burung taun belum kembali. Hal ini sangat menyedihkan burung bayan. Dia menangis karena tidak tahan menahan sedih.
“Nguul… nguul, nguul. Uuu! Uuuu, topiku!” tangis burung bayan.
Akhirnya, dia pergi ke pengetua hutan untuk melaporkan kesedihannya. Dengan kepala tanpa mahkota, burung bayan berangkat ke tangah hutan di mana pengetua hutan berada. Dia melihat banyak ular merayap di cabang – cabang pohon. Burung bayan berpikir bahwa ia pintar terbang, pasti ular – ular itu tidak dapat menggigitnya. Ular – ular itu ada yang berbisa, tetapi banyak pula yang tidak berbahaya dan tidak berbisa. Pada umumnnya ular bergerak dengan mengerutkan otot di kedua sisi tulang belakangnya secara bergantian. Ini yang menyebabkan gerak tubuhnya berombak – ombak.
Setelah jauh terbang, sampailah burung bayan ketempat tinggal pengetua hutan. Dia melaporkan apa yang sudah terjadi pada dirinya gara – gara burung taun. Pengetua hutan sangat marah atas tindakan burung taun. Kemudian, burung taun dipanggil menghadap pengetua hutan. Si nakal, burung kleak berwarna putih atau hijau, bertugas memanggil burung taun. Burung kleak ini selain nakal, juga sangat ribut. Dia suka sekali memakan papaya dan pisang.
Begitu kleak terbang berbunyilah dia, “Eak, eak, eak ….” Tidak berapa lama, tibalah kleak di tempat tinggal burung taun.
Burung kleak berkata, “Hai teman, kamu dipanggil pengetua hutan. Kamu harus datang sekarang juga, tidak boleh ditunda.”
Lalu, burung tuan terbang bersama burung kleak. Setelah tiba di hadapan ketua, burung taun pun diadili. Pengetua bertanya, “Manakah mahkota burung bayan yang kaupinjam beberapa hari yang lalu?”
Sambil memegang mahkota yang ada di kepalanya, burung taun menjawab, “Ini pengetua, tetapi sudah tidak bias dicabut lagi karena sudah menyatu dengan paruhku. Jika dipaksa untuk ditanggalkan, matilah aku.” Macam – macam alasan dikemukakan burung taun agar mahkota itu tetap menjadi miliknya.
Pengetua hutan berkata, “Kalai demikian, biarlah mahkota itu untukmu. Tetapi, ini suatu perbuatan tidak terpuji. Perbuatanmu sangat jahat. Kau perdaya burung bayan. Dia meminjamkan kepadamu dengan harapan dikembalikan, tetapi ternyata kau sudah berbohong kepadanya. Dia sangat sedih atas perbuatanmu itu. Perbuatan baik burung bayan kau balas dengan perbuatan tidak baik. Pinjaman harus dikembalikan.”
Burung taun hanya mengangguk – anggukan kepala. Kemudian, dia berkata, “Ampun pengetua hutan, ampuni aku. Ampuni aku juga burung bayan. Aku siap menunggu keputusan pengetua hutan. Sebenarnya, aku juga sedih dan menyesal, tetapi topi mahkota ini tidak dapat ditanggalkan lagi. Biarlah kita dengar keputusan pengetua saja.”
Kemudian, pengetua hutan berkata, “Topi mahkota itu tetap untuk burung taun karena tidak cocok lagi untuk burung bayan.”
Burung bayan segera menangis lagi tersedu sedan.
“Jangan menangis burung bayan. Walaupun kau tidak kelihatan bagus, tetapi kau tetap dipuji karena kebaikan hatimu. Karena kau menangis terus, ngul… ngul…, mulai sekarang kau kuberi nama Ngulngul,” kata pengetua hutan. Pengetua hutan juga berkata kepada burung taun, “Burung taun, kau memang lebih bagus, tetapi karena kau penipu dan hanya mementingkan diri sendiri, padamu kuberi nama Koak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar